Untitled [Eps 8]

by - 4/09/2014

2014. Hai.

Masihkah dengan suasana yang sama? Ya begitulah. Langit masih enggan memberikan jawabannya. Masih gemar hujan, lalu panas menyengat membakar hati. Apalagi langit Bandung kali ini.

Ia masih menjalani hidupnya tanpa aku. Aku pun begitu. Sudah kuputuskan, jika ia mengajakku pergi lagi aku akan menanyakan soal adik cantik itu. Harus. Jikalau memang benar, maka aku dengan bahagianya akan mundur dengan hormat.

 Pepatah pernah bilang, satu itu melengkapkan, dua itu melenyapkan. Sudah, pilih ia sajalah...

18 Februari 2014, Robocop jadi saksi kebodohanku lagi. Lagi-lagi aku masih pergi dengannya. Menghabiskan malam bersama dengan bodohnya tanpa ku ketahui apapun, tanpa kuketahui ia punya banyak cerita diluar cerita kami.

12 Maret 2014, Non Stop jadi saksi kebodohanku yang terakhir kalinya. Aku pergi dengannya lagi. Dan parahnya dan untuk pertama kalinya aku mengabadikan kami yang memang seperti angin ini. Kami mengabadikannya lewat fotobox di malam itu. Kau tau freeders, rasanya... sulit sekali diungkapkan dengan kata-kata. Kami benar-benar melakukannya. Dan lucunya aku ini maniak foto, tapi entah ini adalah pertama kalinya aku malu untuk foto bersama orang lain. Entah kenapa harus malu aku tak tahu. Malam ini benar-benar...

Disepanjang jalan aku masih bersamanya. Menikmati makan malam kami, obrolan kami. Dan mana mungkin, di keadaan semenyenangkan ini aku harus menghancukannya sendiri dengan membahas orang lain? Mana bisa? Akhirnya... postpone lagi tanyanya... Sudahlah aku sedang ingin percaya padanya. 

Paginya.. Ya sama. Kami memang seperti ini. Pergi. Menghabiskan malam dengan tawa. Paginya ia sudah tak ada. Ia itu seperti hujan, ku cium wanginya kemarin, lalu esoknya ia sudah kering dan menghilang. Tak kenal apapun lagi. 

And baby, its amazing I'm in this maze with you
I just can't crack your code
One day you screaming you love me loud 
the next day your so cold
One day you here
One day you there
Your so unfair...

Sampai suatu ketika sebelum UTS, ia memintaku pergi lagi. Dan aku, siap dengan berbagai pertimbangan memaksa logikaku untuk menanyakan perihal adik cantik yang masih saja mengganggu pikiranku itu. 

22 Maret 2014. Kami pergi. Dan pertama kalinya. Pergi hanya karena kami ingin. Tak ada tujuan pasti sedikitpun.
"Mau nonton?"
"Ngga mau, bosen, makan aja"
Akhirnya kami mengitari Bandung mencari tempat makan. Kami hanya makan sembari mendengarkan ia bercerita soal pengalamannya menjadi asisten praktikum. Aku masih sangat suka mendengarkan ceritanya, melihat bola matanya. Tak sadar kalau ini adalah kesempatan terakhirku untuk sekedar melihat bola matanya...
 "fotonya kamu taro mana?"
"nih", kutunjukan dompetku. "Kalo lagi kesel aku suka balik fotonya"
"kesel? emang aku nyebelin?"
"Iya kadang nyebelin kaya kemaren pas aku lagi pingin banget cerita dikacangin jutek banget dingin"
"hahaha itu lagi epic banget soalnya aku abis makrab terus blablablabla", ia menceritakan masalahnya kenapa ia begitu dingin kemarin. Lalu siapa yang tak senang? :')

"Ngga ada yang liat kan foto kita?"
"Kemaren kan jadiiin DP bbm, tapi muka kaka aku tutupin jari aku foto hehe. Terus banyak yang bm aku lah langsung tanya itu siapa itu siapa -_-, kujawab temen gue napa si. Masih punya Allah jadi ga boleh dipampangin dimuka umum", ku jawab dengan bercanda.
"Hahaha, nanti ya, tunggu aku lulus, nanti jadiin pp sekalian. Tunggu aku lulus.", ucapnya sambil menggenggam jemariku. Lantas siapa yang tak bahagia?

Karena hal ini pulalah, aku menyerah dengan list pertanyaan yang sudah kusiapkan untuk kulancarkan padanya. Agar aku tidak kecewa. Agar aku tahu. Agar aku tak salah arah. Takutnya aku sedang berlari sendirian, sedangkan sosoknya yang menemani itu hanya bayangan. Namun apalah daya, aku tak kuasa lagi untuk bertanya.

Karena aku tak kuasa itulah, akhirnya aku ubah haluan, aku bercerita perihal ke-2 teman perempuanku yang pernah bercerita akan sosoknya yang tidak disukai karena ganjen ngg.... mungkin terlalu akrab atau terlalu sok kenal dengan perempuan. Ia dicap buruk oleh kedua temanku itu. Aku bercerita padanya, dan sepertinya ia kesal sekali malam itu. Aku hanya berkata "Aku ngomong kek gini bukan karena apa-apa, aku hanya pingin ke depannya kaka lebih baik lagi. Nggak kek gitu lagi", ucapku penuh harap. Aku tak pernah peduli masa lalunya seperti apa, sehancur apa aku tak peduli. Yang aku jalani kan masa sekarang. Jadi aku tidak peduli dan membahasnya, namun aku ingin memperbaikinya, setidaknya membuatnya menjadi sosok yang lebih baik lagi ke depannya. Semoga saja duhai Robbi...

You May Also Like

0 comments