Untitled [Eps 2]

by - 4/03/2014

Kupu-kupu yang makin sering muncul itu tak mau pergi. Ia tetap bertahan di dalam sana. Di perutku. Lucu rasanya, menjatuhkan hati kepada seseorang yang tak pernah aku tahu rupanya. Seperti apa ia, bahkan warna bola matanya pun aku belum tahu, apakah hitam, atau coklat. Seperti mimpi. Namun kalau cinta terbatas oleh rupa, maka bagaimana caramu mencintai Tuhan yang tak berupa?

Pertanyaanku akan ia semakin bertambah dari hari ke hari. Dan perasaanku padanya pun berbanding lurus dengan banyaknya bit-bit karakter dalam setiap chat yang aku lalui bersamanya. Lucu. Kami tertawa tapi tak tahu apa yang kami tertawakan. Dan aku, harus bersiap dengan bantal panjangku ketika menghadapi layar laptop hitam ini. Aku terlalu malu. Tak jarang ketika ia bercanda tentang sesuatu aku harus menggulingkan kepalaku jauh kedalam bantal. Aku harus menetralisasi perasaan ini dulu, sebelum perasaan yang membalas chatnya. Aku harus tenang, dan terlebih lagi logis tanpa perasaan.

Kita memang tak perlu saling bercakap untuk saling mengenal. Aku tak mengenalnya, tapi aku mengenalnya, terlalu mengenalnya, sosok yang ada di chat roomku. Namun sayangnya, ia lebih mengenalku ketimbang aku yang mengenalnya. Ia terlalu misterius. Dan aku ini bukan ki Joko Bodo yang bisa melihat apa isi dari fikirannya, terlebih lagi isi hati.

Kucoba menetralisasi perasaan ini namun ternyata cinta itu lebih hebat dari sekedar otak. "Logis lis, logis. Dia tak mengenalmu", kataku pada hati yang tak tahu malu ini. Dari situlah muncul keputusan, sudahi rasa gila ini. Sudahi. Aku tak mau bergantung akan sesuatu yang sama sekali tak jelas. Meski kadang rasa sebal itu muncul, ketika ada lampu hijau disebelah namamu di friendlistku. Ku tunggu, ku tunggu sampai jam malamku habis. Hanya untuk, sekedar ada kata yang ingin ia ucapkan padaku malam ini. Atau hanya sapaan singkat tidak jelas yang ia sering berikan, namun berefek pada mimpi indah dan naiknya darah semangat di esok hariku. Perempuan memang sangat bisa menjadi bodoh ketika jatuh hati.

Rasa kantuk pun aku halangi datang sebelum jam malam tiba. Aku menunggu.

Dan ternyata tak ada pesan. "Mungkin ia sedang sibuk", pikirku. Hal ini berulang berkali-kali setiap aku sedang meng-on-kan chatku. Ia tak datang. Ia masih saja ada di etalase, namun tak tersenyum. Mugkin seperti bulan yang kulihat dari celah ranting. Ia bulan yang sinarnya terlihat. Namun aku hanya kupu-kupu dibawah ranting bersayap gelap yang tak terlihat. Oke, hati. Aku benar-benar menyerah, sepertinya.

"Kau ini, seperti buku yang ku baca dari belakang, aku tak mengertimu, sehalaman demi sehalaman."


Sebelum laptop mati. Klik kanan, turn off chat.

Mungkin lebih baik seperti ini, menghindar saja.



You May Also Like

0 comments