Menikahi Keluarganya

by - 1/29/2018

Sebelum terpikir dan merencakan akan menikah kemarin, aku tidak pernah berpikir bahwa aku benar-benar harus menahan egoku, menyampinkan beberapa sifat maunya-menang-sendiri-ku selama ini. Namun ketika aku memutuskan akan menikahi seseorang, yang sudah sering aku sebutkan di postingan-postingan sebelum ini, aku berubah pikiran.

Benar ternyata, menerima itu bukan perkara mudah. Namun juga bukan perkara yang sulit. Aku harus yakin benar, bahwa ada kado yang indah, untuk indahnya sebuah perjuangan. Karena Allah yang akan menyiapkannya sendiri. Aku tinggal tunggu saja.

Ketika aku mengenal dia, menerima dia, tentu saja bukan serta merta hanya apa yang ada dalam dirinya, hidupnya. Karena ia juga lahir dari sebuah keluarga, dibesarkan oleh sebuah keluarga, dan hidup di dalamnya hingga saat ini. Aku dipaksa keadaan untuk mulai mencintai dan menerima mereka, apapun keadaannya. Begitupula harapanku padanya, bahwa ia jua akan mau menerima keluargaku bagaimanapun keadaannya. 

Kami berdua sama-sama paham, bahwa ketika kami menikahi seseorang, kami juga menikahi keluarganya. Ibunya akan jadi ibuku, Ayahnya akan jadi Ayahku, Om Tantenya akan jadi Om Tanteku juga. Apapun yang ada pada keluarganya akan jadi keluargaku. Dan apapun yang ada pada keluargaku, akan serta merta sepenuhnya jadi tanggung jawabnya juga.

Kami tau, menerima keadaan membutuhkan sebuah proses. Dalam proses itu, kami tidak memaksa, kami hanya belajar untuk saling menerima, saling memberi, saling mencintai keluarga kami. Secara alamiah, aku jatuh cinta dengan keluarganya. Aku benar-benar diberikan keluarga yang aku inginkan, insya Allah. Seperti apa yang aku panjatkan dalam doa-doa. Plus diberi extra kado supaya aku banyak belajar dari keluarganya.

Hadirnya keluarganya, melengkapi kekurangan keluargaku, dan semoga sebaliknya. Aku yakin bahwa Allah memang sudah menakdirkan itu terjadi. 

Dalam tahap belajar menerima keluarganya, aku banyak sekali belajar. Aku belajar tentang sabar, dimana saat ini ia ada dalam posisi dimana sabarlah yang akan jadi penolongnya. Aku belajar mengerti, bahwa anak-anaknya lah yang seharusnya mengerti orangtuanya. Mereka sudah terlalu mengerti kami sedari kecil.

Terlebih lagi saat kami sudah menikah, keluarganya benar-benar telah menjadi keluargaku. Kami bukanlah orang lain lagi. Sudah sepantasnya aku berbakti pada keluarganya pula. Dengan hadirnya pernikahan kami, tambah pula tanggung jawab yang ada di pundak kami. Semua orang paham bahwa menyatukan dua keluarga itu adalah hal yang harus dijalani dengan sabar. Masuknya aku ke dalam keluarganya setelah kami menikah juga memiliki proses, terlebih pada hatiku sendiri.

Yang kemudian aku tau, bahwa ternyata ia harus lebih menyayangi dan menghormati ibunya dibanding aku. Terkadang aku berfikir, bahwa ia membagi kasih sayang yang seharusnya untukku semua, untuk ibunya. Kemudian aku disadarkan dengan bahwa ibunyalah yang telah sudi berbagi kasih sayang anaknya, kepadaku. Masya Allah, betapa para menantu perempuan di bumi ini harus paham benar. Agar tidak ada kecemburuan antara ibu dan istri. Karena ini sebenarnya tidak perlu terjadi.

Saat ini yang bisa aku lakukan untuk suamiku adalah, membantunya. Meridhoinya, mengajaknya, bahkan mengingatkan ia bahwa ia tetap harus menomorsatukan ibunya. Mudahkah? Jawabanku tidak. Sungguh, ini butuh perjuangan. Layaknya ibadah qiyamul lail yang bangunnya saja butuh perjuangan, maka ini lebih dari itu. Tapi pahalanya pun aku yakin akan lebih besar dari itu.

Ibunyalah yang sudah merawatnya, menggendongnya, menyusuinya kapanpun ia haus.  Bahkan sejauh apapun anak berbakti, tidak bisa membayar lunas setetes saja air susu ibunya. Yang telah melindunginya saat ia butuh perlindungan, membesarkannya, membiayainya. Bahkan karena ibunyalah suami bisa kuliah dan bekerja, sehingga bisa menafkahiku, orang lain yang baru saja ia kenal, sudah sepantasnya aku bersyukur.

Mah, thankyou for raising the man of my dreams 💖


Maka, aku belajar apa itu ikhlas dalam berbakti.


You May Also Like

0 comments