Restu Orang Tua

by - 10/07/2017

Aku adalah seorang anak perempuan yang bersyukur telah dilahirkan Mama. Disayanginya selama sembilan bulan di dalam perutnya dengan kepayahan, berbagi semua suka duka. Yang kemudian aku lahir diiringi tangis bahagia Mama. 

Masih teringat sekali, senam pagi yang aku jalani di depan sebuah taman kanak-kanak setiap hari jumat. Yang kemudian aku lihat mama dengan sabarnya menungguku di teras sekolah. Ya, aku memang ditungguinya selama aku 3 tahun bersekolah TK. Terbayang betapa mama menyayangi aku, menungguku setiap waktu, dan jaman itu belum ada handphone! Coba? Kebayang kan betapa membosankannya? Mama, terima kasih atas semua waktumu untukku, Ma.

Kemudian aku tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Bagiku, salah satu cara membahagiakan mama adalah dengan berprestasi sebaik mungkin. Aku ingin membuatnya bangga. Meskipun mungkin sampai saat ini aku masih belum bisa membanggakan dirimu, Ma. Tapi percayalah, elis sudah berjuang.

Ketika aku mengalami masalah, dan ketika mama sedang lelah, Papa lah yang datang dan menjadi pahlawanku selamanya. Papa lah yang dengan setia menariki rambutku helai demi helai yang saat itu bundet karena aku main-main dengan sisir. Papa, dengan sabar dan setianya, menariki rambutku satu persatu. Aku masih sangat ingat kejadian ini, Pa. Saat mama sudah mulai kesal karena ulahku yang ada saja membuat sisir itu tidak bisa dilepaskan dari atas kepala, Papa lah yang menggantikannya dengan sabar. Sampai benar-benar sisir itu bisa dikeluarkan. Walaupun harus digunting sisirnya hahaha. Sampai kapanpun aku tidak akan lupa.

Kemudian SMK aku harus pergi merantau jauh. Aku mulai kekurangan waktu dengan mereka. Aku masuk ke fase remaja awal dimana berteman sedang asik-asiknya. Aku tidak pernah tau, mereka menahan rindu mereka padaku selama itu. Mereka hanya mampu melihat putri mereka satu-satunya ini dua minggu sekali, kadang lebih. Bahkan dua hari dalam dua minggu itu masih saja aku gunakan untuk menikmati waktuku dengan teman-teman.

Lalu kemudian, mereka harus menahan lagi rindu mereka selama 3 tahun lagi setelah aku lulus SMK. Aku harus pergi merantau untuk kedua kalinya, namun kali ini, mereka harus menahan rindu sedikit lebih lama. Aku pulang mungkin tiga bulan sekali, mungkin lebih. Ketika hari libur ada lebih dari 2 hari, baru aku diizinkan pulang. Bukanya apa, aku tau mereka rindu. Namun dengan kuatnya mereka bilang, "Liburnya cuma dua hari, nanti kamu capek bolak-balik. Udah dikos aja istirahat". Kemudian aku tutup telfonnya dengan berkaca-kaca.

Setelah mengalami masa-masa sulit bertemu putrinya selama enam tahun, yang mungkin rindu mereka sebenarnya masih belum terobati, mereka meminta untuk aku tinggal di rumah. "Cari kerja di Majenang aja", katanya. Aku, yang saat itu sudah mulai dewasa belajar mengerti. Bahwa orangtuaku sudah terlalu rindu. Bahwa mereka sudah amat sangat mendambakan melihatku setiap hari, seperti aku kecil dulu. Dengan segenap hati, aku sambut rindu mereka, aku bertahan dan mengikuti keinginan mereka.

Sekitar lima bulan, aku menjadi gadis kecil mereka lagi. Dari pagi hingga pagi lagi bersama dan membantu mereka. Aku mencari pekerjaan di dekat rumah, namun apalah daya, rezeki memang tidak bisa diterka. Ternyata pekerjaan dekat rumah tidak bisa aku terima, meskipun saat itu Papa sudah memohon kepadaku untuk menerima saja tawaran bekerja di sebuah bank. Namun dengan kokohnya alasanku yang aku sampaikan kepada Papa, akhirnya beliau bisa menerima.

Hingga pada suatu malam Mama bicara, "Yaudah kalau mau merantau lagi, mamah izinin". Seperti ceritaku disini. Mama memang yang paling tau anaknya. Untuk kesekian kalinya, aku harus menyakiti mereka lagi. Menjauhi mereka demi kehidupanku sendiri lagi. Menyampingkan rindu mereka yang menginginkan berada di dekatku. Namun orangtua akan selalu menjadi yang lebih tau. Terima kasih, Mah, Pah. Tanpa kalian aku bukan apa-apa.

Kemudian saat bekerja aku lalui. Waktu bagi mereka lebih sedikit lagi. Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku, kewajibanku, yang kadang memaksa untuk mengesampingkan kewajibanku terhadap mereka, subhanallah. Setelah sejauh ini yang mereka lalui, lalu apa?

Lalu fase baru dalam hidupku tiba,

Aku mulai bercerita tentang seseorang yang nantinya akan menjadi teman hidupku selamanya, insya Allah. Mereka harus berkorban lebih jauh lagi dengan perasaannya. Merelakan aku memilih hidupku dengan orang lain. Dan merelakan diri bahwa mereka bukan lagi menjadi prioritasku nanti. Aku akan memiliki keluarga kecil yang harus aku urus nantinya.

*tiba-tiba saja aku berkaca-kaca menulis ini*

Sampai saat ini, atau mungkin sampai nanti, aku tidak akan pernah tau perasaan mereka. Perasaan sayang yang dicampur dengan bahagia, serta dicampur dengan rasa takut kehilangan. Aku tau mereka khawatir, aku tau mereka banyak memikirkan aku, bahkan aku tidak tau, mereka rindu. Mereka harus menahan rindu, menahan kesepian, menahan berbagai perasaan yang mungkin baru akan dimengerti saat nanti aku berkeluarga dan memiliki anak.

Saat aku mengatakan keinginanku untuk menempuh studi di luar kota, dimana mengharuskan aku menempuh jarak yang jauh dari mereka,  mereka bersedia menahan ego mereka, mengorbankan rasa rindu mereka, membiarkan aku melangkah dengan tenang diiringi doa-doa mereka menggapai apa yang aku mau, yang aku inginkan. Mereka bersedia menahan kangen dan perasaan-perasaan lain seperti kesepian, juga hal-hal lain yang bahkan mereka tidak sanggup ungkapkan, mereka harus menanggungnya. Saat mereka mengingat betapa riuhnya rumah saat aku masih ada di sana. Rasa cemas setiap hari memikirkan putrinya di perantauan, hingga tidur mereka tidak nyenyak sampai menerima kabar. Meski cuma pesan singkat.  

Lalu kemudian, gadis kecil kesayangan papa ini akan menikah, yang katanya nanti akan dibawa orang jauh, tidak menjadikan keluarganya sebagai prioritas lagi, karena ia telah diberikan Allah sebuah kewajiban dan tanggung jawab baru. Dimana Papa dan Mama harus mampu menerima, bahwa ada yang lebih gadis kecilnya ini pikirkan selain mereka. 

Mereka harus belajar menerima, bahwa perintah dan larangan mereka bukan menjadi kewajiban bagiku lagi. Bahwa segala dosa dan pahala yang aku dapatkan telah diserahkan sepenuhnya kepada suamiku nanti. Yang nanti akan menjadi penanggung jawab atas diriku.

Aku tau, atau bahkan tidak akan pernah tau, perasaan seperti apa yang Papa dan Mama rasakan saat ini. Namun Pah, Mah tenang aja ya. Insya Allah semoga elis bersama orang yang benar. Allah memberikan seseorang yang aku butuhkan, seseorang yang aku cari-cari selama ini. Perasaan orang tua kepada anak memang tidak akan pernah putus. Begitupula kasih sayang mereka yang nanti akan aku turunkan kepada keturunan kami nanti, insya Allah. 

Terimakasih karena telah merestui, Pah, Mah.

Terima kasih atas segala kasih sayang kalian yang sangat indah ini. Tidak ada hal yang lebih pantas aku berikan kepada mereka selain doa supaya Allah berikan surga. Aamiin.

You May Also Like

0 comments