Traveller : Papandayan Trip

by - 11/15/2014

Waktu sudah menunjukkan jalannya. Semester 5 sudah di depan mata. Kesibukan mahasiswa tingkat akhir, segala blablabla yang harus diurus kadang membuat sengsara. Tapi inilah nikmatnya, sengsara yang akan membawa bahagia dengan terbayarnya sebuah toga di atas kepala. Dan Kaprodi kami, yang sudah gencar melecutkan bom PA pada kami mulai dari semester ini meski bebannya masih 0 sks, karena PA hanya ada di semester enam nanti.

Jadilah hari-hari itu semakin terasa penatnya. Saya butuh oksigen. Mungkin adalah hal yang diinginkan semua mahasiswa tingkat akhir ini. Jadilah seorang teman saya, teman sejak SMK dan rekan asisten saya "Mba mau ikut ngga ke Papandayan?", ajaknya.

"Emang anak kaya aku bisa naik  gunung?", tanyaku ragu.
"Hih ya bisa, Anton aja bisa, ngga malu apa..", ucapnya. Anton adalah salah satu temanku yang tergolong sangat berlebihan, berlebihan berat badan :p. 

Hari berganti tak terasa, dan aku masih dalam fikiranku yang sama, keraguanku akan ikut kesana, karena memang aku ini tipe pemikir yang harus memikirkan akibat apa saja yang akan aku peroleh, nanti tugas-tugas dan amanahku siapa yang akan handle, blablabla. Dan malam itu ku putuskan dengan serius "Udahlah, nggak usah ikut."

Senin, 3 November 2014 13.30
"Mba gimana, jadi ikut nggak?", tanya Haris untuk terakhir kali.
"Aku nggak punya carrier, sandal gunung..", ucapku.
"Lah ngga usah, pake tas biasa aja, sepatu biasa aja, semua peralatannya udah termasuk sewa", jelasnya.
Satu menit otak ini berfikir. (Mungkin karena abis pusing kuliah Mobile Programming)
"Je ikut yuk ngedaki", aku mulai menghasut Jea ha ha ha! Dan dengan polosnya (sepolos kertas folio bergaris) Jea bertanya, "Kapan?" kemudian aku memberitahunya bahwa besok berangkat.
"Yaudah aku ikut", ucapku.
"Beneran kutulis nih ya, eh mba ada uangnya sekarang nggak? Mau buat bayar sewa peralatan", ucap Haris. Kemudian aku sodorkan dua lembar uang seratus ribuan padanya.


Selasa, 4 November 2014
Kami kuliah seperti biasa, tapi entah mungkin sudah takdir-Nya, dosen tidak datang, sehinga kami pulang untuk packing masing-masing.

Siang hari selepas Dzuhur, kami mulai packing di Kame House, basecamp anak-anak. Sebut saja Elis, Jea, Higia, Yaya, Haris, Kukuh, Budi, Udin, Danang, Bintang, Zaki, Faisal, dan Bimo berkemas. Semua peralatan masuk ke Carrier dan tak lupa melapisi semua isi carrier dengan trashbag. Ini antisipasi untuk hujan, karena memang akhir-akhir ini Bandung sore sering menangis. Namun ketika semua sudah datang dalam suka cinta packing, tiba-tiba saja kami harus meninggalkan Robi, karena ia tidak bisa ikut bersama kami karena sampai detik itu belum dapat izin dari ibu negara (baca : pacar). Akhirnya tepat pukul 15.00 kami selesai berkemas.

Kami sudah dengan carrier masing-masing dan berdiri melingkar, doa bersama pun dipanjatkan. Haris sebagai ketua suku menjelaskan rute yang akan dilalui ke Garut dan checkpoint dimana kita harus berhenti sejenak. Kemudian kami berangkat.

Perjalanan yang harus ditempuh dari Bandung-Garut memang tidak dekat, apalagi dengan beberapa orang yang membawa carrier yang cukup besar dan berat karena memuat perlengkapan kelompok. Tapi rasanya berada dalam barisan motor bersama orang-orang bercarrier ini membahagiakan, entahlah, mungkin karena ini sesuatu yang baru bagiku :)

Tiba di Checkpoint kedua kami turun untuk mengisi perut dan shalat Ashar. Yeay. Kemudian perjalanan dilanjutkan dan kami berhenti di Checkpoint ketiga, alfamart terakhir yang akan kita temui sebelum masuk ke jalan kecil menuju Papandayan. 

Perjalanan kami lanjutkan dan memasuki kaki Papandayan. Jalanan yang naik dan udara malam yang semakin dingin sudah mulai menyapa. Mulai dari pedesaan yang masih ada lampu, sampai naik ke perbukitan dan tak ada lampu lagi, hanya lampu perkotaan yang terlihat ketika kupandang di belakang. Tak lupa ayat kursi yang tak pernah lupa kubaca di sepanjang perjalanan karena memang sedikit ngeri dijalan. Dan ternyata brukkkk motor Udin bertabrakan dengan motor Budi. Namun alhamdulillah tidak terjadi luka serius dan kami dapat melanjutkan perjalanan.

Sampai di pos registrasi kami turun dan istirahat dan menjalankan Shalat Maghrib di sebuah mushala kecil di belakang pos registrasi. Kebayang kah kamu, mengambil air wudhu di kolam belerang yang hangat, dan harus menggunakan headlamp, ya benar, karena disana sama sekali tidak ada listrik! Shalat yang kami lakukan pun harus menggunakan cahaya headlamp. Untungnya Faisal saat itu berbaik hati untuk menemani kami, para perempuan.

Setelah dirasa cukup untuk istirahat, kami mulai memakai peralatan yang dibutuhkan untuk mendaki, kaus tangan, headlamp, dan carrier yang melekat menandai kami siap. Registrasi telah dilakukan oleh Kepala Suku kami, Haris, dan motor kami pun sudah ada di tempat yang aman. Kami berdoa bersama, dan kami siap. Kamu, 13 pemuda dan ditambah teman baru yang kami dapat disana, Rico, sudah siap untuk meraihmu, Papandayan.

Kata-kata Haris saat doa bersama selalu terngiang,
"Pelan-pelan aja, hati-hati""Ingat, tujuan kita bukan puncak, tapi rumah masing-masing" 
"Jangan manja, tapi kalau capek bilang aja, intinya jangan manja tapi jangan gengsi" 
Sekitar pukul delapan malam kami mulai naik, pendakian ini memang begitu menakjubkan. Dalam gelap kami tidak meninggalkan satu sama lain, terlebih kami bersama Higia, yang memang harus lebih dijaga geraknya.

"break", ucap salah satu dari kami, maka semua berhenti, mencari batu untuk duduk dan kami istirahat, mengatur nafas atau hanya sekedar duduk dan minum. Baru 10 menit perjalanan, dan memang belum lelah rasanya. Perjalanan kami lanjutkan.

"Pasang masker", teriak sang aba-aba. Bau  belerang memang sudah cukup menyengat di hidung kami. Sementara bulan di atas sana sedang terang-terangnya, tentu saja dibarengi dengan udara dingin ala Papandayan. Hidung beberapa dari kami sudah mulai mengeluarkan melernya ha ha. Akhirnya kami berhenti untuk saling memasangkan potongan salonpas di atas hidung (bayangkan saja kertas pengusir komedo, tapi kali ini berwarna putih, bermerk salonpas, dan hangat di hidung). Awalnya memang hangat, tapi...sungguh udara dinginnya mengalahkan segala kehangatan. Ketika sudah naik lebih keatas dan kami sudah mulai tidak merasakan dingin. Mungkin karena tenaga yang dikeluarkan yang  menjadikan dingin ini tidak terasa.

"break", ucap barisan belakang.
"Yuk di depan ada pondok yuk.. Dikit lagi yuk nanti istirahatnya enak", ucap Haris.

Ya, dia memang selalu seperti itu, jika ada yang istirahat dan sudah dekat dengan tempat yang lebih enak maka dia akan memberikan semangat bahwa jarak istirahat sudah dekat, ha ha ha. Pintar memang.

Sampailah kami di sebuah pondok di atas kawah. Bulan sedang terang-terangnya, semua mematikan headlamp dan kami masih bisa melihat sekitar dengan jelas. Fabiayyiaala irabbikuma tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang mana (lagi) kah yang kamu dustakan? Semua beristirahat dan melepas carriernya, bercanda dan berbagi snack yang ada, sementara Higia sudah diam duduk di kursi kayu dan tidak berbicara. Dan aku, masih senang gembira walau kurasakan ketika kami diam disana untuk beberapa waktu, cuaca dingin malah menggigiti kami, maka ku serukan "Yuk, diem malah dingin". Dan kami melanjutkan perjalanan...

Perjalanan kami sampai di post 2, dan kami beristirahat sejenak.
"Udah deket kok", kata Haris.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi. Tidak begitu lama kami melewati hutan, kami sampai di sebuah tempat yang dinamakan "Tegal Alun". Rasa bahagia karena kami mendapatkan daratan, bukan tanjakan lagi ha ha ha. Ada 3 tenda disana, beberapa orang selain kami yang sedang berkemah juga. Beberapa dari kami beristirahat dan mencari lokasi yang baik untuk mendirikan tenda. Sedang aku dan beberapa orang langsung mencari toilet! ha ha ha. Dan menariknya di sini ada 3 buah toilet darurat yang berbentuk seperti tangki air dari plastik berwarna biru. Dan kebayang dong kalian, dinginnya seperti apa. Air disana itu dinginnya sedingin-dingin air yang pernah kalian temui. Air kulkas kosan aku pun tidak sedingin ini :)). Tapi sungguh, malah aku suka menyentuh airnya. Sangat suka :)).

Anak-anak sedang mendirikan tenda. Aku ikut membantu. Tak terasa, dinginnya malam itu sungguh sedingin-dinginnya ac atau cuaca Bandung yang pernah kutemui. Sedangkan aku, berbekan celana kain dan sendal gunung berkaus kaki, dengan jaket biasa, bukan jaket gunung. Namun Allah memang selalu baik, Ia memberikanku jaket Udin untuk kupakai, bahkan sampai pagi sampai kutiduri ha ha ha. Jaket gunung yang baru ia beli. Allah :))))).

Ke-empat tenda sudah terpasang berikut dengan mantel tendanya, takut kalau tiba-tiba ada badai. Yaya dan aku mulai mencari ranting dan disusul beberapa yang lain. Api mulai di nyalakan namun fail berkali-kali :(((. Akhirnya aku mengeluarkan kipas dari tas untuk mencoba menyalakan api dan yang ada malah semua anak tertawa. "Siapa yang bawa kipas? bisa-bisanya kepikiran bawa kipas" :(((. Tapi toh dipake hihihi. Api masih enggan hadir, akhirnya ku ambil dua lembar hvs dan kuserahkan kepada Danang untuk menyalakan api, dan taram....api mulai hidup ha ha ha

Bapak-bapak menyalakan api dan ibu-ibu mulai memasak. Rasanya memasak dengan tangan sedikit bergetar itu luar biasa, untung saja tidak kepotong :)). Malam ini Haris, sang ketua suku terbaring di dalam tenda, badannya menggigil katanya, wajar saja karena ia naik dengan meninggalkan jaketnya dan membawa carrier ukuran sangat besar dengan banyak perlengkapan kelompok.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari dan makanan sudah siap. Nasi yang dimasak sedikit gagal karena....ah sudahlah, kami lapar dan kami makan. Selesai makan semua tepar di tenda masing-masing tanpa memberesi apapun. Akhirnya aku sama Yaya yang membereskan sepatu dan barang apapun yang masih ada di luar tenda. FYI : semua barang harus masuk tenda sebelum tidur, banyak pencurian juga loh di gunung :))).

Sekarang tenda sudah sunyi senyap. Namun tenda perempuan masih ada aku dan Yaya yang baru saja masuk untuk tidur. Dinginnya saat itu sama sekali nggak nyantai! Sleeping bag, jaket double, ternyata tidak cukup untuk membuat sebuah "kehangatan" dalam tidur kami, tapi karena badan yang amat lelah akhirnya kami tidur.

Dibagunkan oleh dinginnya pagi serta cahaya yang sudah berubah, dan suara Udin dan Budi yang terdengar ramai berlari-lari. Akhirnya akulah yang pertama terbangun. Aku bangun dan mengajak Jea dan Yaya ke toilet untuk cuci muka. Sedang Higia masih bertahan dalam tidurnya.

Air pagi Papandayan yang merasuk ke wajah kami memang sangatlah segar. Ini bukan hanya sekadar dingin, tapi dingin banget! Airnya itu loh yang nggak nahan. Tapi aku suka :))).

Ketika kembali ke camp Udin dan Budi sedang melakukan senam dan peregangan supaya nggak dingin ha ha ha, soalnya jaket Udin masih melekat di badanku. Kemudian kami sarapan sebelum muncak.



sarapan roti sama susu sebelum muncak
siluet kami
ini gila ha ha ha



 subhanallah kan mentari paginya :D

 ini bunga edelweis yang ada deket camp

udah irip iklan rokok belum?
selfie tiada akhir yakan~

Setelah puas foto-foto pagi kami mulai muncak. Wohooo~
Ada dua rute, rute yang sulit dan rada mudah, akhirnya karena pertimbangan banyak Idisini kami memilih rute yang lumayan mudah. 

Hutan yang teduh dengan kayu-kayu khasnya kami lewati, jalan yang kami lalui memang selalu naik. Kemudian kami....salah jalan! Ha ha ha, putar balik turun lagi-naik lagi sudah menjadi makanan otot-otot yang hanya biasa dipakai ngoding ini. Tak lupa, Danang yang membawa ukulele dengan nyanyian-nyanyian plesetan sendiri yang membuat cerianya hari ini.

"Selamat datang di hutan mati", kata Haris.






Hutan mati itu sebuah hutan yang pohonnya mati karena terkena lahar, tanahnya pun tanah lahar yang warna putih itu loh. Kami berjalan cukup jauh, dan tiba-tiba saja kami terpecah. Yaya sibuk mencari foto sedangkan semua minum dan makanan kami dalam tas yang ia gendong. Semua sudah haus dan kami hanya bisa diam menunggu. Akhirnya Haris mau turun dan naik lagi dengan membawa 3 botol minum dalam tas Rico. Yaya sudah jauh dan sulit dikejar, katanya. Dan kami melanjutkan perjalanan menuju padang Edelweis.

"Muncak itu bukan perkara siapa yang paling cepat menuju puncak, tapi siapa yang mau nungguin temennya"
Perjalanan yang dilalui semakin tidak santai saja rasanya, dan kami datang di tanjakan cinta ha ha ha. Bukan sih, tapi tanjakan ini benar-benar tanjakan. Untungnya disana sudah ada tali yang terpasang dan kami dapat menaikinya. Melalui tanjakan ini harus hati-hati, karena tanah yang diinjak mudah runtuh, kami harus melakukannya secara hati-hati dan menjaga jarak satu sama lain.

Nafas kami cukup terengah-tengah di bagian ini, kita akui tanjakan ini memang cukup curam, tapi semuanya alhamdulillah selamat sampai tanah datar. Kami istirahat sejenak untuk sekedar menenangkan nafas. Setelah beberapa lama kami melanjutkan perjalanan, namun kali ini sudah tidak terlalu curam, dan saat itu kami sampai di.....

Sebuah padang edelweis sudah di pelupuk mata. Lagi-lagi, fabiayyiaala irabbikumaa tukadzdzibaaan.  Maka nikmat Tuhanmu yang mana (lagi) kah yang kamu dustakan. Sebuah padang edelweis yang amat luas. Amat luas. Luar biasa. Padang edelweis papandayan adalah satu diantara 4 Padang Edelweis terbaik di Indonesia. Whoa...

Sebelumnya belum pernah mimpi bakal ketemu bunga keabadian secara langsung :')
Ini bareng kepala suku, Haris. Teman SMK, rekan sesama Asisten selama 2 tahun.
My partner in crime, Jea. 



Banyak cerita yang tertumpah disana, darimulai foto "SUKSES PA", "LOVE YOU BLABLABLA" buat yang LDRan, HAPPY BIRTHDAY, sampai HAPPY GRADUATION. Aaaaaaaaaaaaak, nulis ini rasanya aku ingin kembali kesana :(.

Pokoknya kami lama berada disana, FYI Papandayan itu termasuk bukit, jadi puncaknya banyak. Pernah kebayang nggak sih, puncak kan biasanya batu-batu, lah ini puncaknya itu sebuah tempat luas dan datar. Sebuah padang edelweis. Tempat seluas ini ada diatas gunung, dan harus susah payah buat mencapainya. Gilak!

Dulu sempat bertanya sama seseorang sebut saja Waone, Kaka tingkat sewaktu SMK, beliau kini kerja dan kuliah di Jakarta. Akhir-akhir ini aku sering melihat anak-anak yang tinggal di Jakarta lagi hobi banget naik gunung dan aku saat itu masih memandangnya sebelah mata
"Kenapa sih, anak Jakarta hobi banget naik gunung?", pertanyaan itu ku kirimkan via bbm padanya. Dan saat ini juga, aku tau rasanya, aku tau senangnya, susahnya, pengalamannya, nafasnya, bau alamnya aku tahu. Dan aku tidak pernah menyesal. Di padang Edelweis ini aku tersenyum dan menyadari, bahwa kita belum tau apa-apa soal hidup. Belum.

Waktu menunjukkan semakin siang, meski berat meninggalkan tempat ini, kami harus melakukannya. Bye Tegal Alun, kami turun ke camp.

Ceritanya lagi mau masak dan semua kotor, dan ga ada yang mau nyuci ha ha ha, akhirnya ku seret Udin sama Bimo buat nyuci ha ha ha *abaikan bibir manyun sama pipi saya T.T*

Sisa makanan kami habiskan untuk mengisi bekal tenaga turun dari sini. Hanya makan mie sebagai pengganti nasi, tempe goreng, sayur sawi,dan telur orak arik ala kadarnya. Tapi entah nikmatnya luar biasa.

Setelah kenyang kami bergegas membereskan tenda dan tas masing-masing. Tak disangka ternyata awan hitam sudah tepat ada di kepala. Dan tik..tik..tik... gerimis mulai turun. Kami bergegas membereskan dan memakai jas hujan,. Dengan cepat kami bersiap turun. Tak lupa berdoa sebelum kami meninggalkan tempat indah ini. Doa kami, semoga selamat sampai bawah dan semoga tak ada badai.

Tak lupa, semua sampah dan botol minuman kami bawa pulang. "Alam jangan sampai di kotori", ucap Haris. Meski di sepanjang jalan aku hobi sekali memainkan botol-botol minum ukuran 1,5 liter yang tergantun di carrier Bimo ha ha ha. Dan dia selalu marah ha ha ha.

Perjalanan turun yang kami tempuh ternyata bukan perkara mudah, jalanan yang licin, batu-batu yang kadang runtuh ketika diinjak karena tercampur air hujan sedikit menyulitkan. Sampai ada salah satu dari kami yang jatuh terpeleset, tapi kami malah menertawainya :))) ha ha ha.

Hujan memang tidak begitu deras, mungkin karena sepanjang jalan aku berdoa untuk tidak turun badai, kan aku takut terbang :p. Tapi hujan juga sudah sangat memberikan kesan, jarak padang hanya sampai 5 meter ke depan akibat kabut yang amat tebal. Akhirnya beberapa dari kami harus mengenakan lagi headlampnya.

Sepanjang perjalanan view yang kami dapatkan ternyata SANGAT LUAR BIASA. Kami baru melihatnya karena saat kami naik saat malam hari, dan ketika kami turun memang rasanya ah....... Ngga ngerti lagi aku harus menceritakannya pake kalimat apa :(((

Akhirnya kami sampai di gubuk dekat kawah, langit sudah berhenti menangis. Kami istirahat dan melipat jas hujan kami. 


 Kami bukan hanya bisa masak dan ngoding! sudah teruji di ITB dan IPB ha ha ha

Thank you Udin/Kris jaketnya, terbaik :))))







 Ini pas di  pondok saladah, tempat camp kami pas siang hari.

NB : Mungkin suatu saat nanti setelah menikah aku ingin kau bawa lagi kemari, hanya untuk camping berdua di bawah rembulan, memasak, tidur di rumput berteman edelweis saat sunrise dan memelukmu karena dinginnya pagi, untuk membuat mentari iri dan enggan menampakkan diri. Berjalan berdampingan dan mensyukuri, betapa Tuhan menciptakan alam itu terlalu sempurna. Salam dari masa depanmu, erm...maukah kau membawaku kemari? Tentunya setelah aku sudah bisa satu tenda denganmu ya, jangan sekarang, masa kita harus beda tenda kan aku tak mau :p.
Besama Udin dan Bimo saat mau nyuci piring :))


Satu lagu terakhir untukmu sahabat, lagu dari Ipank-Sahabat kecil

Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi

Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli

Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi

Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya

Janganlah berganti
janganlah berganti
janganlah berganti

Tetaplah seperti ini

janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini



Terimakasih untuk 4-5 November indahnya. Terimakasih sudah membuat Novemberku tahun ini begitu berkesan. 
Aku mencintai kalian ♥.








Thanks to : Sponsor sandal gunung : Mbak Anna ha ha ha never forgotten! kiss!

You May Also Like

0 comments